Bahan Bakar Minyak
Minyak
Bumi (bahasa Inggris: petroleum, dari bahasa Latin petrus – karang dan
oleum – minyak), dijuluki juga sebagai emas hitam, adalah cairan kental,
berwarna coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar, yang berada
di lapisan atas dari beberapa area di kerak bumi. Minyak Bumi terdiri
dari campuran kompleks dari berbagai hidrokarbon, sebagian besar seri
alkana, tetapi bervariasi dalam penampilan, komposisi, dan kemurniannya.
Minyak Bumi diambil dari sumur minyak di pertambangan-pertambangan
minyak. Lokasi sumur-sumur minyak ini didapatkan setelah melalui proses
studi geologi, analisis sedimen, karakter dan struktur sumber, dan
berbagai macam studi lainnya. Setelah itu, minyak Bumi akan diproses di
tempat pengilangan minyak dan dipisah-pisahkan hasilnya berdasarkan
titik didihnya sehingga menghasilkan berbagai macam bahan bakar, mulai
dari bensin dan minyak tanah sampai aspal dan berbagai reagen kimia yang
dibutuhkan untuk membuat plastik dan obat-obatan. Minyak Bumi digunakan
untuk memproduksi berbagai macam barang dan material yang dibutuhkan
manusia. Jika dilihat kasar, minyak Bumi hanya berisi minyak mentah
saja, tapi dalam penggunaan sehari-hari ternyata juga digunakan dalam
bentuk hidrokarbon padat, cair, dan gas lainnya. Pada kondisi temperatur
dan tekanan standar, hidrokarbon yang ringan seperti metana, etana,
propana, dan butana berbentuk gas yang mendidih pada -161.6 °C, -88.6
°C, -42 °C, dan -0.5 °C, berturut-turut (-258.9°, -127.5°, -43.6°, dan
+31.1° F), sedangkan karbon yang lebih tinggi, mulai dari pentana ke
atas berbentuk padatan atau cairan. Meskipun begitu, di sumber minyak di
bawah tanah, proporsi gas, cairan, dan padatan tergantung dari kondisi
permukaan dan diagram fase dari campuran minyak Bumi tersebut. Sumur
minyak sebagian besar menghasilkan minyak mentah, dan terkadang ada juga
kandungan gas alam di dalamnya. Karena tekanan di permukaan Bumi lebih
rendah daripada di bawah tanah, beberapa gas akan keluar dalam bentuk
campuran. Sumur gas sebagian besar menghasilkan gas. Tapi, karena suhu
dan tekanan di bawah tanah lebih besar daripada suhu di permukaan, maka
gas yang keluar kadang-kadang juga mengandung hidrokarbon yang lebih
besar, seperti pentana, heksana, dan heptana dalam wujud gas. Di
permukaan, maka gas ini akan mengkondensasi sehingga berbentuk kondensat
gas alam. Bentuk fisik kondensat ini mirip dengan bensin. Persentase
hidrokarbon ringan di dalam minyak mentah sangat bervariasi tergantung
dari ladang minyak, kandungan maksimalnya bisa sampai 97% dari berat
kotor dan paling minimal adalah 50%. Jenis hidrokarbon yang terdapat
pada minyak Bumi sebagian besar terdiri dari alkana, sikloalkana, dan
berbagai macam jenis hidrokarbon aromatik, ditambah dengan sebagian
kecil elemen-elemen lainnya seperti nitrogen, oksigen dan sulfur,
ditambah beberapa jenis logam seperti besi, nikel, tembaga, dan
vanadium. (http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_bumi)
BBM itu Candu
Sejak
mencuatnya isu kenaikan BBM beberapa bulan lalu yang dilontarkan oleh
Pemerintah indonesia, mengundang banyak kecaman dari berbagai elemen
masyarakat seperti Mahasiswa dan Para Elit Politik juga tidak
ketinggalan para Anggota Dewan. Mereka dengan lantang, menyuarakan dan
menentang kenaikan BBM bersubsidi. Serentak, satu suara dan satu hati,
itulah kata yang tepat untuk menggambarkan reaksi Masyarakat Indonesia
saat ini yang menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Tidak heran
jika Jalan Raya di seluruh pelosok negeri ini sering kali dibanjiri
dengan aksi-aksi para mahasiswa yang begitu lantang memamerkan kebolehan
mereka dalam beretorika dan tidak jarang mereka menyebut para pemimpin
bangsa ini dengan sebutan yang tidak pantas keluar dari bibir-bibir
mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual. Tidak bermoral,
kehilangan etika dan entah kata apa lagi yang sebenarnya pantas
diberikan atas perbuatan mereka. tidak hanya di jalan-jalan, kecaman dan
cemooh untuk pemerintah atas isu kenaikan BBM juga dibeberkan lewat
media massa dan situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter.
Sungguh disayangkan, melihat pola tingkah para kaum intelektual yang
sangat bertolak belakang dengan pencitraan mereka di masyarakat. Hal ini
saya ungkapkan bukan berarti saya Pro terhadap rencana keputusan
Pemerintah yang ingin menaikan harga BBM, melainkan ada sesuatu yang
menjanggal dalam hati dan pikiran saya sehingga terdorong untuk menulis
topik ini yang nantinya akan saya jelaskan pada bagian akhir dari
tulisan ini. Entah apa yang ada dalam benak pemerintah, sebulan kemudian
isu kenaikan harga BBM digantikan dengan pembatasan BBM bersubdi. Makin
repot lagi jadinya.. Sampai saat ini, Indonesia belum mengalami
kekurangan cadangan Minyak Bumi, malah indonesia lah yang memberi asupan
sumber minyak kepada negara-negara lain melalui jalur Impor Minyak
mentah yang dilakukan pemerintah. Apa sebenarnya yang disembunyikan oleh
Pemerintah mulai tercium bau busuknya. Beberapa pekan yang lalu atau
sekitar satu bulan yang lalu, tersiar kabar melalui media massa, sebuah
perhitungan yang menunjukkan keadaan APBN negara kita yang sebenarnya.
Saya jadi tersentak, antara percaya dan tidak. Anehnya lagi, meskipun
kebenaran tersebut sudah menjamur di benak masyarakat, pemerintah tetap
saja bungkam seribu bahasa tanpa ada tanggapan.
Memang
tidak bisa dipungkiri, keberadaan BBM dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia sangat besar sehingga kenaikan harga BBM yang baru
berupa isu saja, masyarakat dan pengusaha sudah panik dibuatnya. Menilik
dari kaca mata Ekonomi, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan
harga-harga barang secara serentak karena sepenuhnya masyarakat dan
pengusaha hanya bergantung pada bahan bakar berbasis fosil ini sebagai
sumber energi, sehingga Inflasi tidak dapat terhindarkan. Saya malah
berpendapat lain! Berikut ulasannya. Berdasarkan teori ekonomi sederhana
yang tertuang dalam hukum permintaan dan penawaran yang dikemukakan
oleh seorang pakar ekonomi Alfred Marshall “Jika harga barang Naik, maka
permintaan akan turun. Jika harga barang turun, maka permintaan akan
meningkat” dengan asumsi faktor-faktor lain selain harga dianggap
konstan atau tidak berubah. Lantas bagaimana jika ada energy alternative
sebagai barang substitusi dari BBM?? Seolah merujuk pada teori ekonomi
yang menyatakan “Permintaan terhadap suatu jenis barang tertentu yang
memiliki barang substitusi relatif bersifat konstan”. Artinya, meskipun
harga BBM melonjak tinggi, kebutuhan manusia akan energi tetap akan
terpenuhi dengan adanya energi alternatif sebagai pengganti atau
substitusi dari BBM akan dapat menghindarkan kita dari inflasi.
Melirik Potensi Energi Berbahan Organik (Biofuel)
Hingga
saat ini, Indonesia masih mengandalkan bahan bakar berbasil fosil
sebagai sumber energinya. Seiring melonjaknya harga minyak mentah dunia
beberapa waktu yang lalu, seolah memaksa Pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk menaikan harga BBM dan membatasi pemakaian subsidi BBM.
Hal ini terkesan menjadi salah satu tindakan positif jika menilik
ketersediaan cadangan minyak bumi yang dimiliki oleh Indonesia saat ini.
Menurut Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas) bahwa cadangan minyak
yang dimiliki oleh Indonesia hanya tersisa 3,7 miliar barel dan hanya
mampu bertahan selama 12 tahun kedepan, itupun jika kebutuhan masyarakat
Indonesia akan energy tidak mengalami perubahan atau kenaikan yang
signifikan setiap tahunnya. Bak menelan pil pahit, tetapi inilah
kenyataan yang harus diterima masyarakat Indonesia saat ini. Tanpa
melihat muatan politik yang ada di belakangnya, kebijakan Pemerintah
untuk menaikan harga BBM pada hakikatnya adalah untuk menekan tingginya
tingkat konsumsi masyarakat terhadap BBM. Hanya saja, kebijakan ini
seharusnya diikuti dengan kebijakan lainnya seperti menyediakan barang
substitusi bagi BBM untuk tetap menopang kebutuhan sumber energy bagi
masyarakat. Dengan mengembangkan Biofuel misalnya.
Biofuel
merupakan sumber energy berbasil organic seperti tumbuhan, limbah
industry rumah tangga dsb. Biofeul yang marak digunakan adalah biodiesel
dan bioetanol yang banyak diperoleh dari tumbuhan dan bahan pangan
seperti; singkong, tebu, kelapa sawit, jarak pagar. Berbeda dengan bahan
bakar berbasis fosil, sumber energy yang satu ini selain mudah
diperbaharui juga lebih ramah lingkungan karena zat karbon yang
dihasilkan dari pembakaran energy biofuel ini cenderung lebih sedikit
dibanding dengan bahan bakar berbasil fosil. Meskipun sebenarnya
Pemerintah sempat menaruh perhatian terhadap pengelolahan dan
pemanfaatan sumber energy berbasil organic seperti biofuel, namun hingga
saat ini pemerintah tidak menunjukan keseriusaannya dan project ini
sempat mengalami kemunduran beberapa tahun yang lalu karena berbenturan
dengan ketersediaan pangan dan lahan. Konversi bahan pangan menjadi
energi dapat menyebabkan kerawanan pangan, sehingga diperlukan langkah
strategis untuk mengembangkan dan mengoptimalkan peranan pertanian
sebagai pemasok energi atau Bahan Bakar Nabati (BBN) tanpa mengorbankan
pangan dan keseimbangan ekologi. Untuk alasan inilah mengapa pemerintah
meninggalkan Biofuel berbahan pangan.
Mikroalga dan potensinya sebagai biofuel di Indonesia
Mikroalga
adalah alga berukuran mikro yang biasa dijumpai di air tawar maupun air
laut. Mikroalga merupakan spesies uniseluler yang dapat hidup soliter
maupun berkoloni. Berdasarkan spesiesnya, ada berbagai macam bentuk dan
ukuran. Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang memiliki
kemampuan untuk menggunakan sinar matahari dan karbondioksida untuk
menghasilkan biomassa serta menghasilkan sekitar 50% oksigen yang ada di
atmosfer. Penggunaan mikroalga sebagai bahan baku biofuel mempunyai
beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan tanaman pangan, diantaranya
yaitu sumber energy ini dapat diperbaharui, pertumbuhan yang cepat,
produktivitas tinggi, dapat menggunakan air tawar maupun air laut,
konsumsi air dalam jumlah sedikit serta menggunakan biaya produksi yang
relatif rendah dan yang paling penting tidak berkompetisi dengan bahan
pangan. (Guerrero 2010 dalam Luthfi et al. 2010).
Mikroalga
atau biasa dikenal dengan nama latin Nannochloropsys Occulata memiliki
kandungan karbohidrat dan lemak yang tinggi. Oleh karena itu sangat
potensial sebagai penghasil bioethanol dan biodiesel. Bioethanol
dihasilkan melalui proses fermentasi karbohidrat hingga dihasilkan
ethanol. Sedangkan biodiesel dihasilkan melalui ekstraksi minyak dari
mikroalga. Mikroalga
memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya,
diantaranya produktivitas tinggi karena laju pertumbuhan cepat hanya
dalam satuan jam atau hari, tidak memerlukan lahan subur sehingga tidak
berkompetisi dengan tanaman pangan. Selain itu, Proses
pembuatan mikroalga menjadi bioenergi tidak terlalu sulit. Langkah awal
yang dilakukan adalah identifikasi dan isolasi mikroalga. Kemudian
mikroalga dikembangbiakkan (kultivasi), yang hanya memerlukan waktu 7
sampai 10 hari. Setelah itu, mikroalga ini bisa dipanen. Proses selanjutnya, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi (pemisahan) menggunakan pelarut hexan atau diethyl ether untuk
menghasilkan natan. Metode ekstraksi juga bisa dipilih menurut
kebutuhan. Tahap berikutnya dilakukan pemurnian dan esterifikasi untuk
mengurai lemak menjadi hi-drokarbon. Sebagai contoh, dalam 1 ton
air kultivasi dapat dipanen 1 liter natan. Dari 1 liter ini bisa
dihasilkan 150 gram alga bioenergi, atau jika digunakan untuk proses
pembuatan ekstrak akan didapat 22 mililiter minyak. Jika diproses lagi,
hasil ekstrak minyak ini setara dengan 200 mililiter.
Aspek Ekonomis dari Mikroalga
Setiap
satu hektare mikroalga bisa menghasilkan 2 barel air yang mengandung
mikroalga. Bayangkan bila pantai Indonesia yang panjangnya mencapai
ribuan kilometer dimanfaatkan, tentu akan didapat jutaan barel air yang
mengandung mikroalga sebagai bahan baku bioenergi. Ada banyak
aspek ekonomis jika melirik potensi Mikroalga misalnya peluang bisnis
dan investasi. Potensi mikroalga sebagai sumber energy masa depan diakui
oleh para pengusaha kelas kakap dunia. Pendiri perusahaan peranti lunak
Microsoft, Bill Gates, bahkan tertarik melakukan investasi dalam
industri ini. Melalui Cascade Investment, manusia terkaya di dunia itu
menanamkan investasinya di Sapphire Energy, perusahaan pembuat bioenergi
dari mikroalga yang bermarkas di San Diego, Amerika Serikat. Selain
dari Bill Gates, Sapphire Energy mendapat suntikan dana dari Arch
Venture Partners, Wellcome Trust, dan Venrock. Total investasi yang
mereka benamkan mencapai US$ 100 juta. Dengan tambahan modal sebesar
itu, Sapphire berencana membuat bioenergi 10 ribu barel per hari dalam
tiga atau lima tahun mendatang.
Jika
bangsa Indonesia mencoba untuk mengembangkan dan mengelola mikroalga
sebagai sumber energy bahan bakar berbasis organic biofuel, maka akan
mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan bakar
minyak berbasis fosil yang sulit untuk diperbaharui sehingga kita bisa
berhemat untuk penggunaan minyak atau meskipun ketersediaan minyak
Indonesia menipis bahkan habis sekalipun di masa yang akan datang,
kebutuhan masyarakat akan energy tetap akan terpenuhi dan kita tidak
perlu mengemis impor minyak dari negara lain. Analisis di masa sekarang,
meskipun harga BBM melambung tinggi tetap tidak akan memicu terjadinya
inflasi karena keberadaan sumber energy alternative seperti biofuel
berbahan mikroalga ini menjadi salah satu barang substitusi terhadap
bahan bakar minyak berbasis fosil. Selain itu, pengembangan dan
pengelolahan mikroalga sebagai sumber energy, akan membuka peluang
bisnis dalam investasi dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat
Indonesia. Dengan begitu, kita bisa menekan tingkat pengangguran di
Indonesia yang setiap tahunnya terus menunjukan increasing dan
perekonomian Indonesia akan mengalami peningkatan.
Negara
Indonesia juga perlu menunjukan eksistensinya di kanca perekonomian
dunia, bahwa sebenarnya bangsa Indonesia bisa menyeimbangkan
perekonomiannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk Amerika
sekalipun!